Antara Perut dan Etos Kerja, Dalam Perspektif Islam

MANUSIA adalah makhluk pencari kerja.  Apa pun level dan profesinya, pekerjaan adalah bagian dari tuntutan untuk mempertahankan kehidupan.  Dalam perspektif Islam, bekerja adalah aktivitas ibadah yang melibatkan Allah dan manusia secara bersama-sama.  Di satu sisi memperoleh pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang “layak” adalah satu di antara ketentuan Allah.  Sedangkan sisi lainnya adalah usaha optimal dari manusia itu sendiri.

        Manusia selaku pencari kerja hendaknya membawa dan menjadikan nilai-nilai agama sebagai pedoman dan petunjuknya.  Dengan pengertian lain, dalam bekerja manusia tidak boleh melepaskan diri dari ukuran agamanya.  Dalam mencari kerja, ada norma atau nilai yang harus dipakai untuk mendeteksi pekerjaan apa yang baik menurut ukuran agama.  Di dalam penghasilan yang diterima ada hak-hak orang lain untuk segera diberikan kepada mereka.  Sebagai pekerja, wajib untuk selalu bersyukur kepada Allah.  Syukur berarti terus memanfaatkan sisa hidup ini untuk melaksanakan hal-hal yang positif dan lebih meningkat dan bersabar ketika memperoleh cobaan.

Sebagai pekerja yang baik, kita wajib memahami falsafah-falsafah dasar bekerja :

  • Bekerja adalah ibadah.  Di sini, kita dituntut untuk memberlakukan semua syarat sah ibadah dalam bekerja.  Misalnya, ikhlas sesuai dengan aturan agama, jujur, amanah, dan lain sebagainya.
  • Berilmu.  Artinya, menggunakan perhitungan-perhitungan rasional dan perencanaan serta pengorganisasian secara baik dengan sendi-sendi ilmu pengetahuan. Jangan sampai “asal kerja” dan asal memperoleh “penghasilan” saja yang menjadi tumpuan bekerja.  Bekerjalah dengan perhitungan yang matang, sehingga dapat mengubah nasib hari esok yang lebih baik.  Bekerja dan belajarlah menjadi pekerja yang baik, niscaya satu saat akan menjadi orang sukses.
  • Etos kerja yang tinggi.  Bekerja keras adalah satu di antara etos kerja yang sangat islami.  Lawannya adalah malas dan hanya berpangku tangan.  SIkap ini dipandang sangat tidak islami dan dalam semua urusan menimbulkan dampak negativ secara massal.  Jihad yang artinya bersungguh-sungguh harus menyatu dalam setiap aktivitas bekerja.  Pepatah mengatakan, “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian; bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”.
  • Memiliki keterampilan yang memadai.  Dalam satu pekerjaan kita tidak cukup hanya mengandalkan tenaga, tetapi perlu skill yang memadai.  Profesionalisme sangat diperlukan dalam bekerja.  Keterampilan yang cukup dan profesionalisme dibutuhkan untuk memperoleh penghargaan terhadap wujud kesejahteraan yang lebih memadai.  Bukan suatu hal yang mustahil jika hari ini kita menjadi buruh, beok lusa menjadi majikan.  Jika hari ini kita bekerja dalam perusahaan orang lain, besok lusa orang lain akan bekerja dalam perusahaan kita sendiri.
  • Membangun jaringan kerja melalui upaya membina silaturrahim, komunikasi dan memperluas mitra kerja.  Jaringan kerja sangat penting karena di dalamnya terdapat peluang pasar yang sangat potensial untuk memperoleh rezeki.  Nabi saw pernah mengatakan, ”Barangsiapa yang ingin dipanjangkan umurnya dan diperluas rezekinya hendaklah ia menyambung silaturahim.”
  • Sabar dan syukur.  Berjuang mencari nafkah bukan saja suatu tantangan, tetapi sering dirasakan sebagai ancaman. Resep yang paling manjur untuk menghadapi ancaman tersebut adalah sabar, yaitu menahan diri untuk tidak terpancing pada hal-hal yang menjerumuskan diri kita.  Allah SWT menyatakan Zat-Nya bersama orang-orang yang sabar.  Kebersamaan Allah merupakan keuntungan yang luar biasa daripada hanya sekadar penghasilan materiil yang kita terima.  Resep yang kedua adalah syukur, yaitu memanfaatkan segala sesuatu nikmat pemberian Tuhan sesuai dengan kehendak-Nya, yaitu untuk beribadah.  Orang yang bersyukur akan mendapatkan tambahan rezeki dari Tuhan.  Sebaliknya, bila kita kufur, kita akan mendapatkan siksa Allah pula (Ibrahim : 7).  Kita tidak boleh lupa bahwa zakat, infak, atau sedekah menjadi bagian teramat penting untuk kita laksanakan karena akan menambah keberkahan pada kehidupan dan harta benda kita.  Nabi saw. memberikan nasehat pada kita agar kita suka berzakat, infak atau sedekah.  Nabi mengatakan, “Anfiq, yunfiqu ‘alaika”  Berinfaqlah (berikanlah belanja pada orang lain), niscaya Allah akan memberikan belanja kepadamu.
Hadits tersebut tidak dapat kita rasakan kebenarannya sebelum kita melaksanakan perintah infaq, zakat, sedekah.  Kita baru merasakan kebenaran hadits tersebut secara nyata sesudah kita suka memberi.  Katakanlah pada diri kita dengan keyakinan yang utuh bahwa kemiskinan tidak akan terjadi pada orang yang suka memberi.
Falsafah-falsafah dasar bekerja di atas mengajarkan pada kita untuk mendapatkan hidup yang “berkah” dan “bahagia”, sehingga tidak ada jalan lain yang bisa kita lakukan kecuali mematuhinya dengan mensosialisasikannya dalam bentuk yang lebih nyata.  Dengan demikian, cepat atau lambat kita akan menjadi orang-orang yang memperoleh keberkahan dan kebahagiaan.  Inilah kesempuranaan kehidupan kita di dunia fana ini.  Kesempurnaan nikmat akhirat akan datang juga pada kita di alam akhirat nanti.  Bukankah dunia tempat menanam, akhirat tempat memetik? Karennya “Berbekallah,  dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, dan bertakwlah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal” (al-Baqarah : 197).
Para manajer perusahaan harus berusaha memerankan dirinya sebagai “para sufi perusahaan” (meminjam istilah Nurcholis Madjid).  Seharusnya para pekerja juga dapat membuktikan jati diri mereka sebagai anggota sufi perusahaan.  Dengan demikian, maka praktik “aji mumpung” dapat pula terkikis, sehingga tidak terjadi lagi apa yang disebut penundaan kesenangan (deference of gratification).  Kita mendambakan bahwa penghasilan yang diperoleh memberikan kesenangan hidup kita walaupun belum semuanya.  Setidak-tidaknya memberikan kebahagiaan sementara untuk hidup di dunia fana ini.  Tentu yang akan datang (hari esok) lebih sempurna dari apa yang sekadar kita rasakan hari ini.  Kita perlu melakukan pemulihan terhadap cara kerja yang selama ini terkesan lebih banyak berpenyakit daripada bekerja secara sehat.  Caranya adalah dengan menjadikan pesan moral agama sebagai landasan sekaligus petunjuk kita bekerja.  Tanpa moral agama, kita sulit menemukan kebahagiaan, bahkan akan menimbulkan penderitaan dan pengorbanan yang lebih parah, baik berkenaaan dengan diri kita maupun terhadap dunia usaha.  Nilai-nilai dan etika agama yang berkaitan dengan soal pekerjaan diupayakan seoptimal mungkin pelaksanaannya dalam aktivitas kerja.  Kita perlu membangun moralitas kerja yang di dalamya mempunyai muatan religious (keagamaan).  Kita juga harus menyadari bahwa bekerja bukan hanya untuk memperleh kepuasan sesaat, melainkan menanamkan kebahagiaan yang abadi.
Untuk hal tersebut, kita perlu mempertimbangkan kembali tentang tata cara kerja, apakah itu sudah sesuai dengan petunjuk agama atau belum.  Kalau sudah, menjadi kewajiban kita bersama untuk mempertahankannya dan menumbuh-kembangkan cara-cara seperti itu dalam lingkungan kerja yang lebih luas.  Jika belum, tidak ada kata “terlambat” untuk memeperbaiki kinerja tersebut, sebab terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali.  Dan untuk memperbaiki kinerja ke depan, sangatlah perlu mempergunakan pendekatan SWOT, yaitu memperhitungkan kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunity) dan kendala/ancaman (treatment).  Pendekatan ini diperlukan agar kita tidak gegabah dalam bekerja dan tidak pula menjadi budak pekerjaan dan hamba-hamba “dinar dan dirham”.  Kita harus bekerja secara sah menurut ukuran agama, sehingga penghasilan kita menjadi “berkah” dan keluarga yang ikut menikmati penghasilan ikut merasakan berkah pula.  Janganlah kita mendapatkan penghasilan dengan jalan perencanaan jahat.  Karena berarti kita sengaja menjerumuskan diri dan keluarga dalam jurang kebinasaan dan membuat masa depan kelabu bagi kelanjutan hidup keluarga.
Sumber daya mausia harus disiapkan untuk mengantisipasi perencanaan jahat dalam memperoleh penghasilan agar tidak terjadi lagi.  Di antaranya adalah dengan mengkondisikan sumber daya manusia agar mereka mempunyai moral yang tinggi untuk memasuki lapangan pekerjaan.  SDM yang sudah ada perlu diberi kesempatan untuk memperbaiki diri mereka melalui kegiatan ritual dan sosial.  Upaya memberdayakan tenaga kerja yang sudah ada dapat dilakukan melalui kegiatan inhouse training dan outhouse training (baca latihan ke dalam atau keluar).  Mungkin terlalu ideal memubuat proyek yang bernama “sufi perusahaan”, tetapi setidak-tidaknya membentuk manusia yang saleh secara pribadi agar mau melakukan kesalehan sosial.

Disalin dari Bab Kesimpulan, hal 101-105, Antara Perut dan Etos Kerja Dalam Perspektif Islam, DR, Thohir Luth, MA, Gema Insani Press Jakarta 2001.

Comments

Popular posts from this blog

Apa itu Blog ?

Si Uban dan Nasihatnya

Bertaqarrub kepada Allah