SOSOK DAN PEMIKIRAN SETO MULYADI
Perhatian terhadap Usia
Awal Perkembangan Anak
Bangsa yang besar ialah bangsa yang
mencintai anak-anak. Seharusnya
anak-anak hidup dalam keindahan dan tersenyum ceria. Bermain gembira memperoleh haknya untuk
tumbuh dan berkembang hingga kelak menjadi para pemimpin yang unggul. Ibarat sekuntum bunga, bunga itu kalau
ditaruh di tempat yang subur, disirami dengan penuh kasih sayang, diberi pagar
sebagai penghalang badai.
Namun sayang sekali, mari kita
tengok di jalan, ribuan anak masih mengais rezeki, tidur di stasiun, di
emper-emper toko. Mereka rentan tindak kekerasan,
sehingga menjelang remaja berpotensi menjadi pelaku kriminal. Menjadi anak yang terpaksa berkonflik dengan hukum,
akhirnya harus mendekam di balik jeruji besi.
Menurut ilmu psiklogi, pembentukan
karakter anak itu tidak bisa dilakukan setelah lewat masanya. Proses belajar itu umumnya 40% terbentuk
melalui kemampuan belajar anak. Sampai
dengan umur 8 tahun tambah lagi menjadi 80%, di atas usia 8 tahun itu tinggal
20%. Jadi betapa pentingnya “the golden age” ini untuk membentuk
karakter anak.
Jadi ibarat patung lilin, 4 menit
pertama, bahan lilin masih bisa dibentuk menjadi robot atau dinosaurus atau
seekor kucing. 8 menit kemudian sudah
mulai mengeras, sehingga setelah 8 menit tinggal menghaluskan tekstur yang
sudah terbentuk. Jadi seyogyanya kita
semua mendidik anak apakah cinta damai, apakah senang belajar, apakah dia
memiliki kreatifitas, apakah memiliki komitmen, di masa-masa awal perkembangan
anak.
Ganti Kekerasan dengan
Pendekatan Simpatik
Banyak orang setelah dewasa gemar
menunjukkan kekerasan, menyelesaikan sesuatu tidak dengan dialog tapi dengan
senjata dan kekuatan. Tanpa disadari,
itu semua dibentuk sejak masa awal.
Kalau anak-anak dilatih disiplin dengan cara kekerasan, dengan dibentak,
dengan dijewer, dengan dipukul, maka nantinya menjadi karakter yang
tertanam. Anak terkondisi kalau
menyelesaikan masalah harus dengan kekerasan.
Kalau kita ingin bangsa ini menjadi bangsa yang besar, maka kita harus
memfokuskan proses belajar dan kreatifitas serta tidak sekadar berebut atau
menyelesaikan masalah-masalah kecil dengan kekerasan. Semua bisa dimulai sedini mungkin dengan cara
simpatik.
Metode senyum juga penting. Ketika menghadapi anak, anak mendambakan
senyuman. Ketika orangtua menyuruh anak
supaya tidur, tidak harus dengan bentakan.
Bisa juga dengan senyum, bujukan, atau nyanyian.
Kognitif dan Afektif
Pendidikan anak usia dini itu
membuat anak belajar sejak awal dengan penekanan unsur-unsur kognitif, seperti
belajar matematika, belajar membaca, belajar menulis, belajar bahasa Inggris,
dan sebagainya. Pendidikan tidak banyak
menyentuh unsur afektif, seperti unsur yang menyenangkan (fun). Sehingga yang
tercipta adalah suasana serba tegang, stress, penuh kekerasan psikologis. Kondisi ini kontra produktif, sehingga banyak
anak yang “schoolphobia”, hari ini
mau sekolah, besok bilang sakit perut atau sakit gigi, ada saja alasan untuk
tidak masuk sekolah.
Kecerdasan berkaitan dengan unsur
biologis dan pemenuhan gizi untuk memenuhi kebutuhan otaknya agar bisa berpikir
lebih jernih, lebih lancar, dan lebih mudah.
Namun kondisi fisiologis juga berpengaruh, karena anak terus menerus
mendapatkan berbagai tekanan. Kekerasan
fisiologis itu akan mengakibatkan trauma, menjadikan anak tidak percaya diri
sehingga anak sulit berkembang.
Pemahaman makna ‘cerdas’ harus
dikembalikan pada spektrum yang lebih luas.
Cerdas ini tidak hanya cerdas matematika tapi cerdas itu ada cerdas
emosi, cerdas genestetik olahragawan, ada cerdas menggambar, ada cerdas
interpersonal berupa kemampuan bersosialisasi, dan sebagainya. Kalau kita lihat cerdasnya seperti Albert
Einstein, betul itu cerdas, tapi Pablo Picasso juga cerdas, Maradona atau
Ronaldo juga cerdas. Jadi semuanya itu
dilihat dari potensi. Harusnya pemahaman
cerdas dalam konteks di negeri ini harus bisa merangkum atau menghargai seluruh
anak-anak bangsa yang memiliki kecerdasan yang berbeda.
Bermula dari Pendidikan
di Keluarga
Hal yang terpenting yaitu tidak
ada bunga yang elok kalau tidak ditanam di daerah yang subur. Jadi bagaimana kita menciptakan tanah yang
subur, bagaimana menyemai bibit-bibit yang elok di masa datang. Yang sudah dilakukan sekarang sudah baik yaitu
pendidikan anak usia dini, yang juga sudah ada dirjennya. Lembaga TK dan posyandu, bisa menstimulasi
mental sehingga kualitas otak anak terbentuk.
Selain itu, penting juga pelatihan bagi para ibu, karena tanpa disadari
anak balita ini terlantar karena ibunya memiliki pemahaman bahwa anak-anak ini
akan berkembang dengan sendirinya. Maka
sejak lahir, anak harus diajak bicara banyak, dipeluk, disentuh, dibelai,
selain diberi gizi yang memadai. Kontak
fisik juga harus sering ditingkatkan.
Kadang-kadang ibu menjadi sibuk begitu bayinya lahir, kadang dititipkan
ke babysitter atau yang lain, tanpa ada upaya yang serius untuk memberdayakan
potensi sejak usia dini, katakan 4-5 tahun pertama, untuk mencapai potensi yang
dicapai.
Kadang-kadang ibu-ibu yang mampu
lupa akan hal ini. Mereka sibuk dengn
arisan atau seolah tidak peduli karena mampu menggaji babysitter dan sebagainya.
Perlu dipikirkan bersama misalnya kepada ibu-ibu yang sibuk bekerja bisa
menitipkan anaknya di penitipan anak-anak misalnya child care, sehingga ibu-ibu dapat memberikan ASI dan disana ada
aktivitas yang sangat konstruktif. Itu
semua adalah upaya konkret untuk menyiram bibit tadi agar terus merekah sangat
optimal dan kelak menjadi bunga-bunga yang elok.
Anak adalah amanah yang memiliki hak dan martabat sama dengan orang
dewasa.
Dirangkum dari sosok Seto Mulyadi, MOST WANTED LEADERS, Freddy Ndolu, hal. 156, Indonesia Satu Publisher, Jakarta 2008.
Comments
Post a Comment