Relasi yang Berdaya Sembuh
Akhir akhir
ini carut-marut relasi antar-insan di Indonesia semakin memprihatinkan. Warga Indonesia menuding sesamanya sebagai
penjahat, lalu dia menghasut kerumunan warga lainnya untuk segera menghakimi
orang yang dituding sebagai penjahat itu.
Dalam sekejap, orang malang itu benar-benar tewas ditendangi, dipukuli,
bahkan dibakar. Kejadian seperti itu
merepresentasikan fenomena : warga
Indonesia membunuh warga Indonesia.
Fenomena
seperti itu tidak hanya terjadi dalam skala kecil seperti terlukiskan dalam
kisah di atas. Ia juga menjelma dalam
skala lebih besar, berupa pembunuhan massal yang terjadi antara satu suku dan
suku lainnya, atau kelompok satu dengan kelompok lain. Bahkan fenomena ini, terjadi juga di tengah
pertikaian elite politisi, insan-insan yang biasa disebut sebagai “kaum
intelektual”.
Memang
disitu kata “membunuh” tidak berarti menghilangkan nyawa secara fisik. Namun dalam kenyataan politik sehari-hari,
elite politisi yang satu berupaya mati-matian , dengan menghalalkan segala cara
termasuk memanipulasi hokum, untuk menyingkirkan elite politisi lain. Mereka membolak-balik Buku Tata Tertib atau
Kitab Hukum, bukan untuk menertibkan perilaku dan tindakan agar semuanya sesuai
dengan tata tertib dan hukum, namun justru untuk mencari celah-celah yang
memungkinkan mereka menyingkirkan lawan politiknya.
Di
tengah merebaknya fenomena warga
Indonesia membunuh warga Indonesia, relasi antarinsan menjadi terkorbankan. Orang
Indonesia makin melupakan betapa sesungguhnya kualitas relasi antarinsan adalah
hal teramat penting demi perwujudan kehidupan yang bisa dinikmati secara wajar
dan aman. Siapa bisa hidup enak dan
wajar di tengah suasana yang diresapi rasa takut, waswas, curiga, permusuhan,
dan ketidaktenteraman?
Di
tengah kondisi seperti sekarang ini, kita harus berjuang untuk kembali
mengingat, kualitas relasi antarinsan sangat penting untuk perwujudan kehidupan
yang bisa dinikmati. Bahkan lebih dari
itu, kualitas relasi antarinsan sangat menentukan kualitas kehidupan pada
umumnya. Relasi antarinsan yang buruk
pasti akan menyebabkan kehidupan sehari-hari yang buruk, sehingga tidak bisa
dinikmati oleh siapa pun.
Mungkin
ilustrasi berikut ini bisa menggugah kembali ingatan kita akan pentingnya
kualitas relasi antarmanusia.
Nini
adalah seorang ibu muda berusia 29 tahun yang sering dilanda ketakutan. Lantaran tidak tahan mengalami serangan
ketakutan berulang-ulang, akhirnya ia berkonsultasi dengan seorang konselor. Menurut
pengakuannya, Nini sering dilanda ketakutan parah hanya karena masalah sepele
atau kejadian kecil yang mengusik rasa aman dalam dirinya. Ketika mendengar berita bahwa rumah tetangga
dibobol pencuri, seketika Nini merasa amat ketakutan, sampai dia merasakan
betapa dirinya bakal tidak bisa meneruskan kehidupan.
Pada
suatu hari suami Nini terserang flu dan suhu tubuhnya cukup tinggi. Begitu melihat suhu badan suaminya mencapai
39,5oC, Nini kontan panik sampai-sampai ia tidak lagi bisa
mengendalikan diri. Sudah
banyak orang menasihati Nini agar belajar menenangkan diri. Teman-temannya mengatakan bahwa ketakutan
yang dialami Nini terlalu berlebihan.
Meskipun
bisa menerima semua nasihat dari teman-temannya, toh setiap kali Nini tetap
dilanda serangan ketakutan luar biasa.
Rupa-rupanya sekadar nasihat atau ucapan yang memberikan jaminan rasa
aman, tidak cukup untuk membantu Nini keluar dari kepungan rasa takut yang
tiba-tiba menyerang dirinya.
Dalam
percakapan dengan konselor terungkap bahwa sejak kecil hingga saat sebelum
menikah, Nini sangat dekat dengan ayahnya.
Dia melukiskan ayah kandungnya sebagai “orang yang mampu menyelesaikan
berbagai persoalan dengan baik”. Relasi
sehari-hari dengan sang ayah merupakan “sumber rasa aman” bagi Nini. Frase “relasi sehari-hari” itu patut diberi
tekanan. Rasa aman yang bisa
dinikmati Nini tidak berasal dari ucapan
atau omongan yang membesarkan hati. Rasa
aman itu hanya bisa diperoleh atau bersumber dari relasi sehari-hari riil yang
dialami Nini. Bagi Nini, kata-kata dan
nasihat-nasihat, betapapun bagusnya, tidak memberi rasa aman yang riil.
Dalam
kenyataannya, sejak saat pernikahnnya tiga tahun lalu, ibu muda ini kehilangan
relasi riil sehari-hari yang memberinya rasa aman. Salah satu konsekuensi pernikahannya, ia
harus meninggalkan sang ayah. Padahal
sejak kecil, keberadaan ayah di sisinya sangat penting untuk Nini. Perpisahan
dengan sang ayah merupakan salah satu faktor yang merepresentasikan hilangnya
rasa aman itu. Apalagi akhir-akhir ini
ayah Nini yang semakin lanjut sering sakit-sakitan. Kenyataan pahit ini membuat Nini merasa hidup
dalam suatu dunia yang makin miskin sumber rasa aman riil. Dalam situasi seperti ini Nini gampang
diserang rasa tidak aman, yang pada titik ekstrem berupa serangan ketakutan
atau kepanikan luar biasa. Apalagi, sang
suami belum cukup mampu menjadi figur pengganti ayah Nini dalam mewujudnyatakan
relasi yang memberi rasa aman buat Nini.
Toh,
Nini masih beruntung, memiliki suami yang sudi belajar dan memahami
dirinya. Penjelasan konselor tentang
hilangnya relasi yang menjadi sumber rasa aman dalam kehidupan Nini,
menyadarkan sang suami untuk segera berubah dan mengambil alih peran ayah
mertua. Demi penyembuhan Nini, sang
suami mau memperjuangkan secara sadar perwujudan relasi riil sehari-hari dengan
Nini, yang memberi rasa aman buat Nini.
Lewat perwujudan relasi riil seperti itu, Nini mengalami
kesembuhan. Dia tidak lagi diserang
ketakutan yang tidak masuk akal.
Kisah
itu menegaskan betapa pentingnya kualitas relasi antarmanusia demi suatu
kehidupan yang bisa dinikmati dengan baik dan wajar. Bahkan kualitas relasi antarmanusia yang baik
punya daya menyembuhkan. Maka dengan mudah
bisa kita mengerti hal sebaliknya : relasi antarinsan yang buruk pun bisa
memiliki daya mewujudkan penyakit, ketidaktenteraman, kecurigaan, rasa was-was,
dan rasa tidak aman.
(Disalin dari
Intisari, oktober 2001, hal. 161-163, dr.Limas Sutanto,SpKJ, pengamat psiko-sosial
dari STFT Widya Sasana, Malang).
Comments
Post a Comment